Ada cerita tentang pak
tua yang berjalan tanpa lelah menjajakan dagangannya. Dengan masing-masing lima
bungkus tape di tangan kanan dan tangan kirinya, ia berjalan menyusuri riuh
kampus di sore hari. Hamparan mahasiswa yang berada di lingkungan kampus tak
membuatnya jera meneteskan keringat. Demi sesuap nasi, demi apapun yang sedang
melanda dirinya, ia harus bisa menghasilkan sesuatu yang berharga untuk anak
dan istrinya di rumah.
Pak Maksum, begitulah
panggilan akrabnya. Hari ini adalah hari di mana seluruh mahasiswa baru memulai
perkuliahan untuk pertama kalinya. Hari ini merupakan hari pertama ia
menjajakan tapenya keliling kampus setelah vakum karena libur panjang
perkuliahan. Ia sadar bahwa mahasiswa-mahasiswa yang berada di kampus itu lah
yang kerap membeli dagangannya. Tak jarang dagangannya habis terjual. Tapi, apa
yang terjadi?
“Pak,
dangannya masih kah?” Ucap seorang perempuan dari bilik mobil depan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
“Wah
sudah habis, Mbak. Baru saja habis, saya keliling di Gazebo Perpustakaan dan
Alhamdulillah semuanya dibeli sama sama salah satu mahasiswa di sana,” ucap Pak
Maksum menyunggingkan senyum.
“Yaah,
padahal saya mau beli semua pak. Saya ada acara di rumah nanti sama
teman-teman, mereka suka dengan juice
tape,” jawab Vani dengan wajah sedikit kecewa.
“Oh, kalau begitu tunggu saya sebentar ya saya mau cari lagi di pasar semoga saja orang tempat saya membeli masih belum pulang.”
“Oh, kalau begitu tunggu saya sebentar ya saya mau cari lagi di pasar semoga saja orang tempat saya membeli masih belum pulang.”
“Pasar
mana pak?”
“Merjosari,”
jawab Pak Maksum sambil berlalu meninggalkan mobil bercat putih dengan hiasan
bunga-bunga pink di atasnya. Belum sempat Vani mengiayakan tawaran Pak Maksum
tersebut, ia sudah pergi dengan cepatnya menuju luar kampus di jalan Veteran.
Vani menghela napas
panjang, tak menyangka Pak Maksum yang jika berjalan saja masih tak sempurna
seperti orang kebanyakan. Tapi ketika dihadapkan dengan pembeli yang ia rasa
itu adalah raja yang akan membawakannya rezeki yang banyak, ia seolah tak
menghiraukan letih tubuhnya yang terlihat tak kuat lagi menahan baban hidup
yang begitu rumit.
Satu hal yang bisa
menjadikan pelajaran kepada Vani, bahwa ia ketika ke kampus pun selalu membawa
mobil sendiri, sedang masih banyak orang di luar sana yang meski berjalan
tertatih pun tak pernah mengeluh dan bahagia dengan hidupnya. Lalu pantaskah
seorang manusia yang pada dasarnya oleh Tuhan sudah diberi kehidupan yang
berbeda masing-masing, selalu mengeluh dan menganggap Tuhan tak berada di
dekatnya?
Kehidupan yang berbeda di
masing-masing orang memberikan makna bahwa kita tak bisa hidup sendiri, kita
semestinya bisa belajar dari kehidupan orang lain yang mungkin tak pernah kita
ketahui. Kita hanya tahu hidup kita sendiri, tetapi kita tak pernah tahu
bagaimana di luar sana banyak yang lebih berjuang untuk kita, untuk hidup kita.
Lihatlah hidup kita seperti apa, racik ia bersama hidup orang lain, maka
kauakan mengetahui bagaimana manisnya rasa pahit ketika asam berubah menjadi
asin. J