Kutulis kalimat demi kalimat ini sesaat setelah kudengar layangan suaramu
di ujung ponsel putih yang kauhadiahi untukku ketika pulang semester tiga lalu.
Aku menulis ini ketika bayangan tentangmu hanya bisa kupeluk dalam angan, kaujauh
di seberang sana. Menungguku pulang adalah sesuatu yang kaubenci jika waktu
terlalu lama, waktu yang belum bisa aku pastikan, maafkan membuatmu khawatir.
Ba’da magrib, saat itu aku sedang menuju kampus untuk praktikum. Ditemani
Ririn, sahabatku. Ponselku bordering, “Assalamualaikum, haloo?”. Seseorang
berumur setengah abad, suaranya melemah—parau termakan butiran keringat yang
setiap hari bercucuran dibakar matahari, melayangkan salam untuk membuka
percakapan denganku. Aku mengenal suara itu.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, iya pak, ada apa?”
“Ngga ada, lagi di mana?”
“Ini lagi di jalan mau ke kampus, mau praktikum, pak.”
“Oh, iya sudah. Ke kampus dulu aja, bapak kira lagi santai-santai di
kos.”
“Lho, ada apa pak?”
“Ngga ada, nanti kalau ada waktu luangnya, kita curhat. Udah, ke kampus
gih, nanti telat. Assalamualaikum.”
“Ng..ng.. Waalaikumsalam.”
Seketika telpon terputus, seraya kepalaku masih dihujam kalimat itu
berulang kali, “ada apa, ya? Tumben bapak bilang mau curhat”
Ya, beliau mengerti posisiku yang tak ingin aku terlambat ke kampus dan
tak ingin kuliahku terganggu hanya karena melayani panggilan teleponnya. Tapi
bukan itu yang aku inginkan, aku ingin bicara. Masih, pertanyaan itu menemani
perjalananku hingga kampus, “ada apa, ya?”
Praktikum Pemrograman Basis Data untuk kedua kalinya malam tadi, cukup
memeras otak, cukup sulit untukku pahami kalau aku mengulang kegiatan bodohku
di semester lalu—kurang latihan. Ya, aku harap di semester ini jadwalku lebih
bisa terkoordinir dengan baik karena aku tak menyibukkan diriku lagi dengan
banyak kegiatan-kegiatan organisasi. Jika pun ikut, tak banyak, setidaknya
tidak sampai membunuh waktu belajarku.
Benar, kan? Praktikum kedua ini memeras otak. Sekitar pukul 10.00 baru
aku selesai mengerjakannya, itu pun masih banyak anak-anak lain yang masih
belum selesai, dan karena cukup letih hari ini, aku langsung pulang.
Perjalanan pulang pun sama. Aku kembali teringat pertanyaan-pertanyaan
yang sedaritadi membuatku bingung, bingung karena aku tak pernah mendengarkan
kalimat itu dari seorang Ayah yang kusangka tak bisa mencurahkan isi hatinya
kepadaku, berbeda dengan mama yang kerap menemaniku menertawakan alur hidup.
“Ada apa, ya?”
Kuraih ponsel dari tas di samping kananku, lalu sebuah pesan singkat
kujadikan media mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
“Maaf, pak. Ini baru selesai
praktikum. Ayo telepon.”
Ponselku berdering, tertera nama bapak di sana, langsung kuterima
telponnya dengan cepat. Namun tidak berlangsung lama panggilan kedua itu mengudara,
beliau mematikan teleponnya lagi setelah kubujuk untuk berbicara tapi beliau
menepis dengan sebuah kalimat, “nanti saja kalau sudah pulang, ya.”
Tut..tut..tut… Telepon mati.
Pikiranku untuk kesekian kalinya kembali meluncurkan kalimat itu, “ada
apa, ya?”
Ku telusuri jalan-jalan kampus yang masih basah ditinggalkan hujan sore
tadi. Bau tanah yang belum menghilang, hamparan bumi yang belum mengering—menjadi
saksi jejak kaki yang mungkin sedang menginjak mikroorganisme di tumpukan
lumpur hangat dipeluk angin.
Ya, perjalanku dari kampus sampai kos-kosan atau sebaliknya memakan waktu
sekitar 10 menit. Tidak membuatku terlalu lelah, kok. Lebih lelah seorang
kepala keluargaku di seberang sana yang siang harinya mencari nafkah untuk
keluarga kecilku—untuk aku bisa berjalan di tempat ini setiap hari. Bersyukur
adalah salah satu caraku meringankan beban orangtuaku.
Dalam perjalanan yang hampir tengah malam itu, kusempatkan bertukar pesan
dengan bapak.
“Kenapa dimatikan, pak?
“Sampai kos, istirahat. Sudah tengah malam, besok kalau iin santai, kita
curhat.”
Subahanallah, sebegitu perhatian beliau terhadapku. Ini kalimat pertama
yang membuatku sedikit menyadari lebih dalam. Untuk kita, yang masih mempunyai
ayah, ketahuilah, terkadang kita tak pernah menyadari betapa besar sayang
beliau terhadap anaknya. Betapa lembut ia membelai kita semenjak masih bayi,
bahkan masih di dalam kandungan. Betapa bahagianya mendengar suara tangisan
bayi ketika istrinya berjuang di dalam ruangan sempit itu sambil menahan rasa
sakit memperjuangkan buah hatinya. Tangisan kita kala itu bak sebongkah emas
yang tak bisa dibeli dengan berapa dolar sekalipun.
Hingga sekarang, jika beliau egois, beliau mungkin akan membahagaiakan
kita dengan terus memberikan kasih sayangnya setiap waktu, membelai kita saat
kesepian, memeluk ketika menangis, tanpa melakukan apapun kecuali hal itu. Tapi
apa yang dilakukan seorang ayah? Ia pergi, jauh, meninggalkan kita,
meninggalkan istri yang dicintainya, meninggalkan keluarga kecilnya, bahkan
berpuluh-puluh kilometer setiap hari ia tempuh hanya untuk mencari setitik
kebahagiaan untuk menghadiahi keluarganya di kala pulang. Ia berangkat mungkin
saat kita belum terbangun, dan bahkan pulang saat kita sudah terlelap di malam
hari. Begitu mewahnya hidup kita—yaa—kita—bukan beliau—yang gosong tersengat
terik setiap hari. Tapi, hanya itu yang membuatnya lega dan bahagia, bisa
‘memewahkan’ keluarganya tanpa membuat dirinya ‘mewah’. Begitu berat menjadi
seorang ayah—laki-laki—pemimpin.
Dewasa, saat titik itu sedang kita tempuh saat ini. Pernahkah kita
dibelai, dipeluk, dimanja berlebihan seperti saat kita masih kecil dulu? Tidak,
bukan? Bahkan ia tak pernah cemburu jika kita bertemu ciptaan Tuhan yang lain
untuk memulai merasakan ‘cinta’. Ia membiarkan kita yang seharusnya miliknya,
dimiliki orang lain. Betapa kecewanya ia jika sampai rasa sayang itu berpindah
dengan cepat dengan orang yang mungkin baru saja kita kenal, sedang ia
berpuluh-puluh tahun memberi kita nafkah dan kasih sayang. Kautau ibarat apa
beliau? Ia ibarat melukis pelangi. Ia berdiam di pojok ruangan gelap seorang
diri, kedinginan, menggigil, namun tetap menyunggingkan senyum. Ia melukis
pelangi dengan indah dan cemerlangnya, bermodalkan kuas yang nyaris tumpul. Ia
paksakan untuk tetap melukis hingga warna itu menyatu, berpadu dengan indah. Ia
tak peduli kuas yang ia pakai rusak tergores kanvas, yang ada dalam pikirannya
adalah, “pelangi yang aku lukis bisa memberikan warna untuk orang lain, untuk
ciptaan Tuhan yang lain—manusia—yang akan menjadi penggantiku kelak—untuk
menjaga anakku, saatku mulai menua.
Jikalau ayah adalah seorang yang egois, ia mungkin akan mengatakan, “aku
ayahmu, aku yang membesarkanmu dari kecil, seharusnya kamu menurutiku, bukan
sama orang lain, memangnya dia yang memberimu makan setiap hari, memangnya dia
yang paling cepat mencarimu saat kamu terjatuh dalam gelapnya hidup?”
Tapi apa? Ia tak pernah mengatakan sampai sekasar dan sekeras itu padamu,
kan? Ia mungkin cemburu, tapi rasa sayang yang menahannya untuk tidak cemburu.
Ia membiarkanmu belajar tentang hidup dengan orang pilihanmu sendiri,
kaudianggap sudah dewasa, kaudianggap sudah bisa mengarungi lautan kehidupan
sendiri tanpanya, ia bahagia melihatmu bahagia, bahagia dengan pilihan-pilihan
yang menurutmu baik. Ia tak bisa melarang, ia hanya bisa mengarahkanmu, ia
hanya bisa tersenyum.
Pesan singkat yang membuatku sedikit
memahami
Bahwa semua rasa tak selalu berucap
Ada sebagian yang hanya bisa dirasa
Di sini, di hati kecil ini
Darimu, Ayah.