Monday, December 22, 2014

Selamat Hari Ibu

Diposkan oleh Unknown di Monday, December 22, 2014 0 komentar
Hari ibu. Ya, tanggal 22 Desember selalu diperingati sebagai hari ibu. Entah bagaimana kisah dan sejarahnya sehingga setiap tanggal tersebut diperingati sebagai hari ibu. Namun bagi aku sendiri, hari ibu itu merupakan hari di mana kita—seharusnya—mengingat seorang wanita yang sangat berharga dalam hidup kita. Bersyukurlah ketika kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menatap, menggenggam, memeluk, hingga membahagiakan beliau. Satu hal yang membuat beliau bahagia—sebenarnya—seharusnya, yaitu dengan mengucapkan “Aku sayang Ibu”.

Masih ingatkah kapan terakhir kita mengatakan hal seperti itu? Iya, bahkan aku pun, hingga saat aku menulis ini, aku melupa. Mungkin, kebanyakan dari kita menganggap hal tersebut adalah hal yang sepele, tapi ketahuilah, ibu yang mendengar kalimat ungkapan kasih sayang dari anaknya akan merasa sangat bahagia. Ah, sepele. Ah, masa sih? Ah, katrok. Ah, ngga perlu mengatakan hal seperti itu, kan ibuku sudah tahu kalau aku sayang sama beliau. Ah, ungkapan itu ngga penting, yang penting itu adalah bukti. Ah, hanya ucapan. Ah, Ah, Ah, dan Ah yang lainnya. Iya, itu anggapan kita, kan? Tentu. Karena kita belum sepenuhnya menjadi seorang ibu. Tak banyak orang yang bisa mempunyai naluri sebagai seorang ibu. Apalagi kita yang posisinya hanya sebagai anak, kita tak akan pernah tahu rahasia terbesar seorang ibu kepada anaknya. Rahasia kasih sayang yang kita tidak pernah tahu, tak pernah beliau jelaskan, tak pernah beliau deskripsikan, hanya bisa kita rasakan ketika kita sudah sampai pada titik di mana beliau saat ini.

Ibu, kami terlalu kecil untuk bisa mengartikan besarnya kasih sayangmu. Iya kami paham, memberikan kasih sayang bukan hanya di saat 22 Desember seperti hari ini. Seharusnya kasih sayang itu diberikan setiap saat. Tetapi, banyak dari kita yang mungkin lupa, dikarenakan sibuk dengan misi mencari jati diri untuk membahagiakan keluarga, dan lain sebagainya. Melalui momen inilah, tertanggal 22 Desember, sesibuk apapun kita, segiat apapun kita mengejar mimpi, kita akan mengingat sosok itu. Hingga terkadang meneteskan air mata, mengingat setiap langkah yang pernah kita lalui sejak kecil, mengingat kejadian unik saat bersama, mengingat hal-hal yang terlihat bodoh saat kaupercaya bahwa sesendok nasi yang beliau suapi dulu adalah pesawat yang terbang lalu masuk ke mulut. Semuanya indah, dan lucu ketika kaumengingatnya sekarang. Beliau pernah ada, bahkan ketika beliau diambil Tuhan, beliau tetap PERNAH ada.

Ibu, aku ingin momen ini menjadi momen yang indah setiap tahunnya, menjadi momen yang tak tertulis secara resmi di buku, tetapi akan tetap tercatat di dalam memori kita, memori kenangan yang tak akan pernah kita lupakan, sampai mimpi-mimpi ini tercapai, sampai tangan ini lelah menggapai, sampai keringat ini menjadi manis, dan sampai semua orang tahu, Aku menyayangimu, Ibu.


Malang, 22 Desember 2014
Untuk wanita yang kuat menahan hidup
Merelakan apapun demi keluarganya
Demi suami dan anak-anaknya
Wanita sederhana
Namun istimewa
Ibu.


Tuesday, December 16, 2014

Kisah Klasik Studio Photo

Diposkan oleh Unknown di Tuesday, December 16, 2014 0 komentar
Hari ini, aku ingin berterima kasih. Terima kasih untuk semua sahabat yang saat ini masih bertahan menghadapi manusia yang satu ini. Terima kasih untuk semua cinta, terima kasih untuk semua asa, terima kasih untuk segala kasih sayang yang mungkin tak bisa kubalas satu persatu. Aku harap ini hanya tulisan abadi yang takkan pernah terbaca oleh siapapun yang menganggapnya tidak penting. Aku ingin tulisan ini abadi, tak seperti manusia yang keinginnya selalu berubah-ubah setiap saat. Ya, itu sifat alamiah manusia.

Aku pernah bermimpi, bermimpi bisa selamanya berhubungan baik denganmu. Tapi aku salah, semua sudah berubah, semua terlalu sibuk dengan kesibukan masing-masing, bahkan aku, kau, dia, mereka. Kebersamaan kita semua yang dahulu hangat, berubah seketika dan menjadi hambar saat rasa berubah menjadi cinta. Aku benci harus merasakan ini untuk kesekian kalinya. Aku memang bukan orang hebat dalam hal seperti ini, bukan pula orang yang pandai mencari celah untuk mendapatkan kebahagiaan. Tapi mungkin, aku terlalu lihai bersembunyi di balik awan tebal. Aku hobby menggumpalkan awan hingga hitam pekat, membuat mendung sekelilingnya, tapi tak kunjung menjatuhkan titik-titik air, karna aku tahu, bunga-bunga masih ingin memerlukan mentari.

Iya, aku tahu. Kita lelah dengan segala macam perkataan mereka. Dan aku lelah dengan perasaanmu yang selalu terlihat tak menyukai sikap mereka. Aku lelah. Semua potret kehidupanmu, dan semua potret kehidupanku, kita sama-sama menyukainya. Aku ingat satu perkataanmu, dulu, “sifat kita hampir sama ya, apa karena golongan darah kita sama-sama A?”

Mungkin, aku sudah merasa tak nyaman lagi, entah aku yang berubah, kamu yang berubah, atau mereka yang berubah. Semua tak lagi sama. Iya aku tau, tidak ada kehidupan di dunia yang abadi, semuanya akan berubah seiring berjalannya waktu. Semua akan kembali pada jalan yang Ia kehendaki.

Aku bermimpi, dan aku berdoa, semoga kauselalu dilindungi Tuhan, pernah atau tidaknya kau menggores perasaanku, anggap saja itu sebuah pertunjukan wayang, dan itu lucu. Terima kasih untuk semua kisah klasik yang pernah kita lalui. Aku bahagia saat kita saling mencintai, dan maafkan jika sekarang aku mencari jalanku sendiri, di titik yang tak pernah kauketahui.


Aku yakin, waktu yang akan menjelaskanmu, menjelaskan mereka.
Untuk Tuan YieRPi, semua penghuni studio itu.
Dan semua kisah klasik kita.
:”)


Tuesday, October 7, 2014

Kehidupan Sore

Diposkan oleh Unknown di Tuesday, October 07, 2014 0 komentar

Ada cerita tentang pak tua yang berjalan tanpa lelah menjajakan dagangannya. Dengan masing-masing lima bungkus tape di tangan kanan dan tangan kirinya, ia berjalan menyusuri riuh kampus di sore hari. Hamparan mahasiswa yang berada di lingkungan kampus tak membuatnya jera meneteskan keringat. Demi sesuap nasi, demi apapun yang sedang melanda dirinya, ia harus bisa menghasilkan sesuatu yang berharga untuk anak dan istrinya di rumah.

Pak Maksum, begitulah panggilan akrabnya. Hari ini adalah hari di mana seluruh mahasiswa baru memulai perkuliahan untuk pertama kalinya. Hari ini merupakan hari pertama ia menjajakan tapenya keliling kampus setelah vakum karena libur panjang perkuliahan. Ia sadar bahwa mahasiswa-mahasiswa yang berada di kampus itu lah yang kerap membeli dagangannya. Tak jarang dagangannya habis terjual. Tapi, apa yang terjadi?
“Pak, dangannya masih kah?” Ucap seorang perempuan dari bilik mobil depan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
“Wah sudah habis, Mbak. Baru saja habis, saya keliling di Gazebo Perpustakaan dan Alhamdulillah semuanya dibeli sama sama salah satu mahasiswa di sana,” ucap Pak Maksum menyunggingkan senyum.
“Yaah, padahal saya mau beli semua pak. Saya ada acara di rumah nanti sama teman-teman, mereka suka dengan juice tape,” jawab Vani dengan wajah sedikit kecewa.
            “Oh, kalau begitu tunggu saya sebentar ya saya mau cari lagi di pasar semoga saja orang tempat saya membeli masih belum pulang.”
“Pasar mana pak?”
“Merjosari,” jawab Pak Maksum sambil berlalu meninggalkan mobil bercat putih dengan hiasan bunga-bunga pink di atasnya. Belum sempat Vani mengiayakan tawaran Pak Maksum tersebut, ia sudah pergi dengan cepatnya menuju luar kampus di jalan Veteran.

Vani menghela napas panjang, tak menyangka Pak Maksum yang jika berjalan saja masih tak sempurna seperti orang kebanyakan. Tapi ketika dihadapkan dengan pembeli yang ia rasa itu adalah raja yang akan membawakannya rezeki yang banyak, ia seolah tak menghiraukan letih tubuhnya yang terlihat tak kuat lagi menahan baban hidup yang begitu rumit.

Satu hal yang bisa menjadikan pelajaran kepada Vani, bahwa ia ketika ke kampus pun selalu membawa mobil sendiri, sedang masih banyak orang di luar sana yang meski berjalan tertatih pun tak pernah mengeluh dan bahagia dengan hidupnya. Lalu pantaskah seorang manusia yang pada dasarnya oleh Tuhan sudah diberi kehidupan yang berbeda masing-masing, selalu mengeluh dan menganggap Tuhan tak berada di dekatnya?

Kehidupan yang berbeda di masing-masing orang memberikan makna bahwa kita tak bisa hidup sendiri, kita semestinya bisa belajar dari kehidupan orang lain yang mungkin tak pernah kita ketahui. Kita hanya tahu hidup kita sendiri, tetapi kita tak pernah tahu bagaimana di luar sana banyak yang lebih berjuang untuk kita, untuk hidup kita. Lihatlah hidup kita seperti apa, racik ia bersama hidup orang lain, maka kauakan mengetahui bagaimana manisnya rasa pahit ketika asam berubah menjadi asin. J

Monday, September 1, 2014

Catatan Mungilku untuk Ayah

Diposkan oleh Unknown di Monday, September 01, 2014 0 komentar

Kutulis kalimat demi kalimat ini sesaat setelah kudengar layangan suaramu di ujung ponsel putih yang kauhadiahi untukku ketika pulang semester tiga lalu. Aku menulis ini ketika bayangan tentangmu hanya bisa kupeluk dalam angan, kaujauh di seberang sana. Menungguku pulang adalah sesuatu yang kaubenci jika waktu terlalu lama, waktu yang belum bisa aku pastikan, maafkan membuatmu khawatir.
Ba’da magrib, saat itu aku sedang menuju kampus untuk praktikum. Ditemani Ririn, sahabatku. Ponselku bordering, “Assalamualaikum, haloo?”. Seseorang berumur setengah abad, suaranya melemah—parau termakan butiran keringat yang setiap hari bercucuran dibakar matahari, melayangkan salam untuk membuka percakapan denganku. Aku mengenal suara itu.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, iya pak, ada apa?”
“Ngga ada, lagi di mana?”
“Ini lagi di jalan mau ke kampus, mau praktikum, pak.”
“Oh, iya sudah. Ke kampus dulu aja, bapak kira lagi santai-santai di kos.”
“Lho, ada apa pak?”
“Ngga ada, nanti kalau ada waktu luangnya, kita curhat. Udah, ke kampus gih, nanti telat. Assalamualaikum.”
“Ng..ng.. Waalaikumsalam.”
Seketika telpon terputus, seraya kepalaku masih dihujam kalimat itu berulang kali, “ada apa, ya? Tumben bapak bilang mau curhat”
Ya, beliau mengerti posisiku yang tak ingin aku terlambat ke kampus dan tak ingin kuliahku terganggu hanya karena melayani panggilan teleponnya. Tapi bukan itu yang aku inginkan, aku ingin bicara. Masih, pertanyaan itu menemani perjalananku hingga kampus, “ada apa, ya?”
Praktikum Pemrograman Basis Data untuk kedua kalinya malam tadi, cukup memeras otak, cukup sulit untukku pahami kalau aku mengulang kegiatan bodohku di semester lalu—kurang latihan. Ya, aku harap di semester ini jadwalku lebih bisa terkoordinir dengan baik karena aku tak menyibukkan diriku lagi dengan banyak kegiatan-kegiatan organisasi. Jika pun ikut, tak banyak, setidaknya tidak sampai membunuh waktu belajarku.
Benar, kan? Praktikum kedua ini memeras otak. Sekitar pukul 10.00 baru aku selesai mengerjakannya, itu pun masih banyak anak-anak lain yang masih belum selesai, dan karena cukup letih hari ini, aku langsung pulang.
Perjalanan pulang pun sama. Aku kembali teringat pertanyaan-pertanyaan yang sedaritadi membuatku bingung, bingung karena aku tak pernah mendengarkan kalimat itu dari seorang Ayah yang kusangka tak bisa mencurahkan isi hatinya kepadaku, berbeda dengan mama yang kerap menemaniku menertawakan alur hidup.
“Ada apa, ya?”
Kuraih ponsel dari tas di samping kananku, lalu sebuah pesan singkat kujadikan media mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
“Maaf, pak. Ini baru selesai praktikum. Ayo telepon.”
Ponselku berdering, tertera nama bapak di sana, langsung kuterima telponnya dengan cepat. Namun tidak berlangsung lama panggilan kedua itu mengudara, beliau mematikan teleponnya lagi setelah kubujuk untuk berbicara tapi beliau menepis dengan sebuah kalimat, “nanti saja kalau sudah pulang, ya.”
Tut..tut..tut… Telepon mati.
Pikiranku untuk kesekian kalinya kembali meluncurkan kalimat itu, “ada apa, ya?”
Ku telusuri jalan-jalan kampus yang masih basah ditinggalkan hujan sore tadi. Bau tanah yang belum menghilang, hamparan bumi yang belum mengering—menjadi saksi jejak kaki yang mungkin sedang menginjak mikroorganisme di tumpukan lumpur hangat dipeluk angin.
Ya, perjalanku dari kampus sampai kos-kosan atau sebaliknya memakan waktu sekitar 10 menit. Tidak membuatku terlalu lelah, kok. Lebih lelah seorang kepala keluargaku di seberang sana yang siang harinya mencari nafkah untuk keluarga kecilku—untuk aku bisa berjalan di tempat ini setiap hari. Bersyukur adalah salah satu caraku meringankan beban orangtuaku.
Dalam perjalanan yang hampir tengah malam itu, kusempatkan bertukar pesan dengan bapak.
“Kenapa dimatikan, pak?
“Sampai kos, istirahat. Sudah tengah malam, besok kalau iin santai, kita curhat.”
Subahanallah, sebegitu perhatian beliau terhadapku. Ini kalimat pertama yang membuatku sedikit menyadari lebih dalam. Untuk kita, yang masih mempunyai ayah, ketahuilah, terkadang kita tak pernah menyadari betapa besar sayang beliau terhadap anaknya. Betapa lembut ia membelai kita semenjak masih bayi, bahkan masih di dalam kandungan. Betapa bahagianya mendengar suara tangisan bayi ketika istrinya berjuang di dalam ruangan sempit itu sambil menahan rasa sakit memperjuangkan buah hatinya. Tangisan kita kala itu bak sebongkah emas yang tak bisa dibeli dengan berapa dolar sekalipun.
Hingga sekarang, jika beliau egois, beliau mungkin akan membahagaiakan kita dengan terus memberikan kasih sayangnya setiap waktu, membelai kita saat kesepian, memeluk ketika menangis, tanpa melakukan apapun kecuali hal itu. Tapi apa yang dilakukan seorang ayah? Ia pergi, jauh, meninggalkan kita, meninggalkan istri yang dicintainya, meninggalkan keluarga kecilnya, bahkan berpuluh-puluh kilometer setiap hari ia tempuh hanya untuk mencari setitik kebahagiaan untuk menghadiahi keluarganya di kala pulang. Ia berangkat mungkin saat kita belum terbangun, dan bahkan pulang saat kita sudah terlelap di malam hari. Begitu mewahnya hidup kita—yaa—kita—bukan beliau—yang gosong tersengat terik setiap hari. Tapi, hanya itu yang membuatnya lega dan bahagia, bisa ‘memewahkan’ keluarganya tanpa membuat dirinya ‘mewah’. Begitu berat menjadi seorang ayah—laki-laki—pemimpin.
Dewasa, saat titik itu sedang kita tempuh saat ini. Pernahkah kita dibelai, dipeluk, dimanja berlebihan seperti saat kita masih kecil dulu? Tidak, bukan? Bahkan ia tak pernah cemburu jika kita bertemu ciptaan Tuhan yang lain untuk memulai merasakan ‘cinta’. Ia membiarkan kita yang seharusnya miliknya, dimiliki orang lain. Betapa kecewanya ia jika sampai rasa sayang itu berpindah dengan cepat dengan orang yang mungkin baru saja kita kenal, sedang ia berpuluh-puluh tahun memberi kita nafkah dan kasih sayang. Kautau ibarat apa beliau? Ia ibarat melukis pelangi. Ia berdiam di pojok ruangan gelap seorang diri, kedinginan, menggigil, namun tetap menyunggingkan senyum. Ia melukis pelangi dengan indah dan cemerlangnya, bermodalkan kuas yang nyaris tumpul. Ia paksakan untuk tetap melukis hingga warna itu menyatu, berpadu dengan indah. Ia tak peduli kuas yang ia pakai rusak tergores kanvas, yang ada dalam pikirannya adalah, “pelangi yang aku lukis bisa memberikan warna untuk orang lain, untuk ciptaan Tuhan yang lain—manusia—yang akan menjadi penggantiku kelak—untuk menjaga anakku, saatku mulai menua.
Jikalau ayah adalah seorang yang egois, ia mungkin akan mengatakan, “aku ayahmu, aku yang membesarkanmu dari kecil, seharusnya kamu menurutiku, bukan sama orang lain, memangnya dia yang memberimu makan setiap hari, memangnya dia yang paling cepat mencarimu saat kamu terjatuh dalam gelapnya hidup?”
Tapi apa? Ia tak pernah mengatakan sampai sekasar dan sekeras itu padamu, kan? Ia mungkin cemburu, tapi rasa sayang yang menahannya untuk tidak cemburu. Ia membiarkanmu belajar tentang hidup dengan orang pilihanmu sendiri, kaudianggap sudah dewasa, kaudianggap sudah bisa mengarungi lautan kehidupan sendiri tanpanya, ia bahagia melihatmu bahagia, bahagia dengan pilihan-pilihan yang menurutmu baik. Ia tak bisa melarang, ia hanya bisa mengarahkanmu, ia hanya bisa tersenyum.



Pesan singkat yang membuatku sedikit memahami
Bahwa semua rasa tak selalu berucap
Ada sebagian yang hanya bisa dirasa
Di sini, di hati kecil ini
Darimu, Ayah.


Saturday, August 9, 2014

Secuil Kisah Anak Rantauan

Diposkan oleh Unknown di Saturday, August 09, 2014 0 komentar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Hi semua, apa kabar? Ada yang masih betah liburan di kampung halaman? Atau, sudah kembali ke rantauan sepertiku? Haha. Kali ini aku ingin bercerita sedikit. Mumpung ngga ada pekerjaan penting menurutku yang cocok dikerjakan oleh orang yang sedang menyepi di Kos sendirian. Anggap saja ini tulisan khayal dan ngga penting untuk dibaca. Lalalalalalaa~ who care?

Well, ini kali pertama aku merasakan kembali ke rantauan jauh-jauh hari. Tak seperti sebelum-sebelumnya, aku biasanya kembali ke Malang H-3 masuk kuliah. Itu sih biasanya. Bahkan pernah juga sampai H+seminggu. Wah, parah! Iya. Siapa yang bilang berlama-lama di tempat orang itu adalah suatu kebetahan yang amat nyaman? Menurutku sih presiden aja walaupun jadi presiden pasti selalu rindu kampung halamannya. Apalagi mahasiswi sepertiku?

Ya, menjadi seorang mahasiswa/i dituntut untuk bisa berlaku selayaknya mahasiswa. Bagiku, tahap ini merupakan tahap yang paling menentukan untuk sebuah keberhasilan. Dimana di posisi yang rata-rata diduduki oleh orang ‘berkepala dua’ ini, jati diri dan kepercayaan terhadap apa yang diyakini mulai menguat. Mungkin, pada saat sekolah dulu pernah melakukan hal yang terbilang ‘salah’. Nah, posisi ini lah wadah yang tepat untuk mengoreksi kesalahan tersebut. Posisi yang ditempati oleh mahasiswa/i mendorong mereka untuk bisa membandingkan tiga hal: apa yang terjadi dulu, apa yang terjadi sekarang, dan apa yang terjadi di masa yang akan datang. Posisi ini lah penentunya.

Oleh sebab itu, untuk yang sedang kesal karena kedinian untuk kembali merantau, ingatlah hari yang lalu saat kaumemutuskan untuk benar-benar merantau dan ingatlah hari di mana kauakan mendapatkan ‘hasil’ rantauan panjang selama ini. Ingat dan remember. Hmm, yang memahami maksudku ini pasti paham juga kenapa aku menulis ini dan kenapa aku yang menulisnya. Haha.. I am OK, kok :’)

Wasalam..
Malang, August 9th 2014

Saturday, June 14, 2014

Di Saat Aku Mengingatmu

Diposkan oleh Unknown di Saturday, June 14, 2014 0 komentar

Masih berkutat dengan sesuatu yang hampir belum kuketahui akhirnya. Mengalir dengan semaunya, tanpa berpikir akan ada ranting pohon pun bebatuan yang akan menghadang. Ya, semu memang. Semua tanpa rencana. Perahu yang dulunya gampang kusut, gampang hanyut tersapu air ombak, kini berubah menjadi perahu kokoh yang tak akan goyah tertempa apapun.

Berlari dengan kaki yang kuat, dengan keyakinan yang mantap, dengan hati yang mantap. Di tanah seberang yang penuh dengan angan tanpa kepastian, kaki ini harus tetap melangkah. Menyusuri setiap jejak terdahulu, mengikuti alur yang terkadang tak sesuai dengan harapan.

Aku di sini. Karna kau yang meyakiniku.

Teringat kembali ucapanmu diujung telepon waktu itu. Menggugah semangat yang terkadang hidup padam. Mengalirkan aura positif yang tak bisa kubuat sendiri, tanpamu--mungkin. Di sini aku bersama mimpimu, bersama apa yang ingin kaucari, bersama angan yang mungkin tak pernah kumengerti, namun berusaha kupahami.

2014. Dua tahun tidak terasa jika kuterus bergerak dengan senyuman, dan berusaha menhukir senyuman untukmu. Di sana kaumerindu, dan kuyakini itu. Berjuang adalah caramu mengajarkanku akan arti hidup. Tanpa tersadar, aku berada di titik itu olehmu, karenamu.

Lihat saja nanti. Lihat saat hidup dan kehidupan yang sering kaulontarkan padaku kala aku hampir rapuh itu membaikkan KITA. Akan kubuat kaubangga dengan tetesan keringat yang berubah menjadi tetesan airmata suci dari seorang pejuang hidup yang tanpa lelah dan letih saling menggenggam untuk mewujudkan sebuah mimpi.

Ingat, aku di sini karena kau di sana. Kau di sana karena aku di sini. Kita saling berjuang. Kita saling mengikat. Sama-sama mencari apa yang seharusnya kita cari.

Aku percaya pada hidup yang mungkin belum mempercayakan kita. Aku percaya itu, aku percaya kau selalu ada di sini, di hati kecil ini, Ayah..





Malang, 14 Juni 2014
Saat aku selalu mengingatmu, jasamu, dan senyuman bahagiamu
Dari malaikat kecilmu, yang belum tahu apa-apa, tentangmu..

Thursday, April 24, 2014

Lomba Menulis Puisi “Nasionalisme” by @infolipul (DL: 1 Mei 2014)

Diposkan oleh Unknown di Thursday, April 24, 2014 0 komentar
Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakasnya Tuhan, dan membuat kita menjadi hidup di dalam roh ~ Bung Karno.
Assalamu alaikum, wr. wb
Hallo sahabat #PenaIlusi, semoga selalu dalam kebaikan jiwa raga. Dan terus semangat dalam berkarya.
Sebulan setelah Pemilu 9 April 2014, tepatnya pada 20 Mei 2014 kita akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Menurut pandangan sejarah, peristiwa 20 Mei 1908 merupakan peristiwa penting yang menjadi titik pangkal dari kegiatan perjuangan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan rasa kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi agar Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan yang menjadi slogan belaka, tetapi benar-benar dapat menjiwai perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Nah, berawal dari hal itulah, kali ini Founder #PenaIlusi kerjasama dengan indie publishing akan mengadakan event menulis puisi dengan tema : NASIONALISME. Kami mengajak kawan-kawan untuk menuangkan rasa cinta dan bangga jadi orang Indonesia lewat bait-bait indah sebuah puisi.
Syarat dan Ketentuan Event :
Event terbuka untuk umum, yang pasti adalah warga negara Indonesia.
Event ini tidak di pungut biaya apapun (GRATIS).
Puisi yang ditulis hendaknya dapat menggugah pembaca alias memiliki daya tarik pembaca.
Peserta harus bergabung di GRUP FB :
https://www.facebook.com/groups/MenulisBersamaPenaIlusi/ (WAJIB karena update seputar event terpusat di grup tsb),
like FanPage :
https://www.facebook.com/pages/Lipul-El-Pupaka/151639034936376?ref=hl
dan follow founder #PenaIlusi @infolipul. Serta copast info event ini ke dalam catatan/status dengan tag minimal 10 orang teman, posting di blog / twit di twitter juga boleh.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, tidak dituntut memenuhi kaidah EYD namun dapat dipahami. Tidak mengandung SARA dan belum pernah diterbitkan di media massa.
Naskah puisi diketik di microsof word (file type : doc atau docx), rapi, kertas A4 dengan spasi 1,15, Time New Roman, huruf 12.
Panjang puisi minimal setengah halaman dan maksimal 1 Halaman (tidak termasuk judul dan biodata penulis) sertakan juga titimangsa di akhir puisi (Ex : Bengkulu 10 Maret 2014), dan jangan lupa sertakan identitas narasi penulis maksimal 50 kata di lembar kedua. Tuliskan juga biodata singkat : NAMA, ASAL DAERAH, EMAIL, NO.HP.
Setiap peserta hanya boleh mengirim 1 karya terbaiknya.
Naskah di kirim ke email lipul.pkv@gmail.com berupa Attachment dan bukan di badan e-mail dengan SUBJEK : NASIONALISME_[Judul Puisi]_[Nama Penulis]_[Asal Daerah]. Contoh : NASIONALISME_[Semangat 45]_[Lipul El Pupaka]_[Bengkulu]
DEADLINE EVENT tanggal 01 Mei 2014 pukul. 23. 59 WIB
PENGUMUMAN HASIL EVENT tanggal 07 Mei 2014 di Grup FB di atas.
Hadiah
  • Terbaik 1 : Pulsa 100.000 + Buku Bukti Terbit + Sertifikat
  • Terbaik 2 : Pulsa 50.000 + Buku Bukti Terbit + Sertifikat
  • Terbaik 3 : Pulsa 25.000 + Buku Bukti Terbit + Sertifkat
*) 100 puisi terpilih akan dibukukan + mendapatakan sertifikat sebagai kontributor
**) Semua peserta mendapatkan sertifikat.
Selamat berkarya!
Salam Cinta Indonesia!
Jika ada pertanyaan mengenai info lomba ini, silakan menghubungi:
Twitter : @infolipul
Email : lipul.pkv@gmail.com
HP : 0818 4340 14

Sunday, April 13, 2014

Saat Cinta Selalu Pulang

Diposkan oleh Unknown di Sunday, April 13, 2014 0 komentar

"Saat cinta selalu pulang, saat cinta ingin menemukan sepasang kekasihnya dan ingin segera menyatu, jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku mencintaimu." Yaa, mungkin itu penggalan pesan yang ada di dalam film Refrain ini. Sebenarnya ini terlalu dini untukku tulis, dan ini kali pertama aku langsung menulis di bagian post untuk mem-posting tulisanku. Aku biasanya menggunakan Microsoft Office Word dulu untuk menulis, baru kemudian meng-copy paste-nya ke bagian posting ini. Entahlah, ini karena sahabatku yang meminta agar segera mem-posting film ini.

Maaf ya mungkin membuatmu terlalu lama menunggu hanya untuk sekedar ingin menonton film ini, sahabatku. Tapi ketahuilah, aku sampai tertidur meng-upload film ini dikarenakan durasi yang lumayan lama dan kapasitas yang besar, maklum aku hanya memanfaatkan benda putih persegi panjang yang kusebut dengan hape, untuk melakukan hotspot geratis. Bukan geratis sih sebenarnya, bayar terlebih dulu--pasca bayar--harus membeli paketan internet terlebih dulu dengan paket unlimited (misalnya) baru bisa digunakan. Apa itu namanya geratis beneran atau berbayar dengan dalih geratis? Ah entahlah, yang terpenting, filmnya sudah bisa kamu download di sini Mik-Cum. :'D

Ohya, mungkin sedikit pencerahan aja dari aku tentang film ini. Jadi, film ini diperankan oleh Maudy Ayunda dan Afgan sebagai tokoh utamanya. Maudy berperan sebagai Niki, dan Afgan berperan sebagai Nata. Heh, kok si Afgan mengambil embel-embel namaku ya? Nata itu nama perempuan, buktinya saja si tokoh kartun itu ada nama Nata-nya (baca: Hinata). Apakah Afgan menyukai Hinata sepertiku ya? Hahaha. Tidak mungkin, apalah arti sebuah nama~ halah!

Next~

Jadi, mereka berdua bersahabat sejak masih ingusan (begitu kata Niki dalam film ini, setelah menonton, pasti akan tahu kok di mana letak percakapan Niki tentang hal itu). Oke, dan karena persahabatan mereka cukup lama membuat mereka sangat tahu apa yang dirasakan sahabatnya, entah itu rasa sedih, senang, atau apapun. Mereka melewati hidup bersama hampir setiap hari, saling memahami satu sama lain, sampai ketika salah satu di antara mereka pada akhirnya jatuh cinta dengan seseorang. Mereka saling berbagi cerita. Lalu bagaimanakah kehidupan seorang Niki dan Nata yang selalu menjaga persahabatan mereka sampai mereka dewasa? Apakah mereka bisa menjaga itu? Apakah semua dari kisah klasik hidup berawal dari mimpi dan cinta? Lalu bagaimana maksud dari "Saat Cinta Selalu Pulang?" Temukan jawabannya di dalam film Refrain (Saat Cinta Selalu Pulang) FULL MOVIE yang sudah aku tonton sebelumnya dan membuatku berkaca-kaca. :')

Please, bukan berarti aku seorang penjual kaca. Oke, semoga lawakanku ngga lucu.

Daripada banyak basa-basi, ini hutangku buatmu sahabatku, Mik-Cum. Selamat menonton, jangan lupa sediain kacang, coklat panas, gorengan, cemilan kecil, permen Kiss warna biru, eskrim juga boleh, ajak pacarmu bila perlu. Haha~




(NB: film ini aku unggah di akun youtube pribadiku, bisa dicek disini juga).

Friday, April 11, 2014

Belum ada judul, ada saran? :'D

Diposkan oleh Unknown di Friday, April 11, 2014 0 komentar
Alkisah, dulu tinggallah seekor kucing dengan saudaranya setelah ayah dan ibu mereka meninggal. Mereka hidup berdua di tengah hutan yang tiap hari menurunkan hujan. Suatu ketika Miau, adik dari Miu ingin pergi dari hutan itu untuk mencari ibunya, ia belum percaya bahwa singa hutan sudah memakan ibunya, ia yakin bahwa ibunya masih berada di seberang hutan, sedang menyendiri, tidak ada makanan, kedingingan, dan berteman sepi. Miu yang tidak ingin adiknya kenapa-kenapa tak pernah mengizinkannya untuk pergi dari hutan.

“Tapi ibu di sana sendirian, kedinginan, kakak bodoh! Kakak jahat!”. Ungkap Miau.

Kakaknya hanya terdiam, ia sudah kehabisan cara lagi untuk menyadarkan Miau. Suatu hari, ketika matahari belum muncul dari arah timur, Miau berniat untuk pergi dari rumah pohon itu, ia berjalan seorang diri tanpa tahu tujuan dan arah ke mana. Ia bertemu dengan anak singa yang lucu, bulunya yang tipis membuat Miau menyangka itu adalah sebangsanya. Ia pun berani menyapa.

            “Meaooong.. meaooong.. apa kabar saudaraku?”.

Tanpa banyak bicara anak beruang tersebut langsung berlari menghampiri Miau. Miau tidak menyangka kalau anak singa itu segera memeluknya erat. “Mom.. mom..” ucapnya riang gembira.

Sampai suatau saat ketika Miau ingin melanjutkan perjalan, anak singa yang tubuhnya berukuran lebih kecil darinya selalu mengikuti langkah kemanapun ia pergi sambil berucap “Mom.. mom..”.

Sudah berulang kali Miau mencoba lari dari anak singa yang awalnya ia mengira itu adalah seekor kucing. Tapi anak singa itu terus mengikutinya. Ia akhirnya sadar bahwa yang sedang bersamanya adalah seekor singa, dan bukan kucing.

Dari kejauhan terdengar suara raja hutan yang menggelegar. Suaranya begitu besar hingga selururh isi hutan bisa mendengarnya. Miau yang selalu takut dengan singa segera berlari sekencang-kencangnya karena takut ia akan bernasip sama dengan ibunya, yaitu menjadi santapan singa. Ia yang awalnya sangat senang bertemu dengan seekor anak singa yang disangka kucing tersebut akhirnya menjadi geram. Sejak dulu ia sangat membenci singa, semenjak raja hutan tersebut merenggut kebahagiaannya. Ia tak perduli lagi dengan anak singa yang menganggap dirinya adalah ibunya. Ia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan anak singa itu seorang diri. Tanpa tersadar ketika sudah jauh berlari, anak singa itu menghampiri Miau dengan membawa seekor tikus hutan di mulutnya. Ia seolah menyodorkan tikus itu dengan mulutnya kepada  Miau. Dilepaskanlah tikus yang ternyata sudah mati tersebut dari mulut anak singa, dan lagi-lagi ia berucap “Mom.. mom..”. Tanpa pikir panjang, Miau yang lelah berlari dan lapar akhirnya memakan tikus tersebut. Terlihat anak singa yang dengan lugunya tersebut duduk manis melihat Miau menyukai makanan yang ia bawa. Terlihat wajahnya yang sedikit menunduk dan masih berucap “Mom.. mom..” dengan suara lebih kecil dari sebelumnya. Terlihat pula wajahnya yang agak menahan kecewa. Ia mungkin tersadar bahwa Miau yang dianggap ibunya tak menghiraukannya lagi. Miau yang melihat kejadian itu lalu menghampiri anak singa tesebut dengan memberikan sisa makanannya. Tapi, anak singa tersebut tidak mengambilnya. Ia tetap di posisi semula dengan wajah murung. Miau kembali teringat dengan kejadian dua tahun silam saat dirinya tidak mau makan lalu ibunya menghampiri dan mengelus-elus kepalanya. Ia merasa senang dan akhirnya ia memakan makanannya. Miau lalu melakukan hal yang sama kepada anak singa tersebut. Ia mengelus-elus kepala anak singa dengan tersenyum dan lupa dengan dendamnya terhadap singa karena merasa kasihan dengan anak singa tersebut yang sendirian di hutan yang luas itu.

Langit sebentar lagi gelap, itu artinya hujan akan segera turun, mereka tidak mempunyai tempat untuk berteduh. Anak singa itu masih di posisi awalnya, melengkungkan badan yang artinya ia tengah kedinginan. Ia tidak menghampiri Miau yang sedari tadi pula duduk di atas tumpukan dedaunan, setidaknya daun tersebut bisa memberikannya sedikit kehangatan.

Langit pun semakin gelap, Miau tidak tahu akan pergi ke mana lagi, ia merasa bahwa apa yang ia lakukan akan sia-sia karena ibunya sudah benar-benar tidak ada. Ia akhirnya memutuskan untuk tidur di bawah pohoh itu sampai esok.

Matahari sudah meninggi meninggalkan malam pekat yang dingin, dedaunan tak lagi menampung butiran air. Sekeliling tanah basah menjadi kering, hangat, bersahabat dengan cuaca hari ini. Miau masih malas untuk membangunkan badannya yang letih, terasa malam sangat panjang, waktu tidur pun tak terusik oleh ganggungan binatang-binatang malam pencari makan. Hari ini aku harus pulang ke rumah pohon, kasihan kakakku, pasti dia mengkhawatirkanku karena aku pergi tanpa permisi.

Ketika akan hendak membangunkan badan, ia teringat bahwa semalam ia tak sedang sendirian, ia bersama anak singa malang itu. Mungkin nasibnya sama sepertiku, mencari ibu. Kasihan anak singa itu. Lalu sontak badannya dengan cepat merubah posisi menjadi terbangun. Pandangannya dibuang ke sekeliling hutan belantara itu.

“Mana singa? Mana anak singa itu?? Manaa???”

Miau berlari di sekitar tempat ia tidur semalam, tapi usahanya tak membuahkan hasil. Anak singa itu hilang, entah kemana. Ia menyesal telah berbuat tidak baik terhadap anak singa itu sebelumnya. “Betapa baiknya ia terhadapku.”

Matahari semakin menyengat, semakin ia khawatir dengan keberadaan anak singa yang selama di tengah hutan belantara ini selalu menemaninya. Bahkan ketika ia hendak meninggalkannya, anak singa itu mengikutinya dari belakang dengan membawakan makanan untuknya. Lalu sekarang dia pergi tanpa aku ketahui, tanpa mengucapkan apapun kepadaku.

Miau sekarang seorang diri. Dengan rasa penyesalan yang mendalam, ia mengikuti jalan setapak yang entah akan membawanya ke mana. Mungkin, akan kembali ke rumah pohon, atau bertemu dengan hewan lain, atau bahkan, bertemu dengan ibunya di syurga sana, entahlah~


-The end-

“Terkadang, kita tidak paham bagaimana orang lain memahami kita..”
Malang, penghujung 2013
iinnata
 

just say WHATEVER ツ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea