Semilir angin
menerpa tubuh usang, berdebu, tertiup angin, membawa hujan kembali menghirup
tanah, aromanya meninggi, ke angkasa. Detik berjalan meninggalkan waktu yang
konstan, entah tinggal berapa lama lagi kehidupan ini akan berubah menjadi
kehidupan yang lebih baik. Mimpi itu seakan nyata, dan kamu yang meyakiniku—dakon.
Kita di
rantauan ini berdua, Kon. Kamu masih bisu seperti pertama kali kumengenalmu.
Kautak banyak berbicara tentang hidupku, kautersenyum di kala aku mungkin tak
mengharapkan senyumanmu. Tapi itulah kita, kita yang selalu berdua di sini
menanti sebuah angan yang belum pasti. Menanti mimpi yang saat ini sedang mempermainkan
kita bak sinetron.
Aku percaya
pada awan pembawa hujan, kauseolah memberiku kabar, bahwa di setiap hujan yang
Tuhan turunkan, ada terselip kerinduan yang amat mendalam akan bulan penghujan
ini. Apakah aku masih bisa menikmatimu lebih lama lagi di tahun mendatang?
Akankah semuanya berubah ketika waktu tak lagi sama?
Dakon,
daun-daun enggan berguguran meninggalkan tangkainya. Tapi mengapa saat ini di
sekelilingku banyak orang-orang yang kecewa pada sebuah kebohongan? Iya, benar
saja. Hampir belum sepekan ini aku selalu dikabarkan oleh kabar yang sama-sama
berisikan tentang kekecewaan. Iya, itu dari teman-temanku. Kasian mereka yang
harus menahan sakit di atas kesenangan orang lain yang mereka cintai. Aku
mendengarkan sepatah demi patah kata yang keluar dari hati kecil mereka. “Kenapa
dia PHPin aku?” Begitu ucapan lirihnya. Entahlah Tuhan, ini musim penghujan
atau musim PHP. Semua orang membahas hal ini tanpa habis. Hingga amarah meradam
di dalam benak, lalu ingin ditumpahkan kepada siapa? Kalian tahu dari awal
kalau laki-laki yang kalian inginkan tersebut hanya memberi angan-angan yang
belum tentu benar, lalu mengapa kalian dengan mudahnya terbang? Apa dunia ini
terlalu ringan?
Mohonlah
kepada Tuhan kalian, siapa yang kalian sayangi. Sebut terus namanya dalam do’a,
meski namamu tak akan mungkin pernah ia sebutkan dalam ucapannya. Ucapkan bahwa
kaumencintainya, kaumenyayanginya karena Tuhanmu, bukan karena nafsumu. Jangan
pernah salahkan orang lain yang kauanggap memPHP dirimu, tapi salahkan dirimu
yang mungkin belum banyak mensyukuri indahnya nikmat Tuhan. Ketahuilah, sakit
itu indah. Indah jika kaumerasakan itu sampai dalam hati. Nikmati, seolah kopi
yang memaksa ingin masuk ke tubuhmu, sedang kautak menyukai rasa pahit. Coba
nikmati sakitmu, perlahan-lahan, biarkan ia masuk seperti obat, biarkan ia
dengan mudah melewati kerongkongan, biarkan ia dengan mudah mencerna di hatimu,
bebaskan jiwamu, beri ia sedikit ruang untuk kauselalu bersyukur atas nikmat
Tuhan. Biarkan ia melebur dalam tubuhmu, pun pahitnya hanya terasa di lidahmu,
tak mengenakkan di kerongkonganmu. Namun apa kau pernah sadar bagaimana ia
bekerja di dalam tubuhmu, untuk kesembuhanmu?
Itulah
pahitnya obat yang tanpa kausadar dengan kepahitannya tersebuh bisa membawamu
pada kesembuhan yang tak akan pernah kauduga. Begitu pula dengan beragam
masalah yang sudah atau sedang menghampiri, anggap itu obat mujarab untukmu,
meski pahit kauharus telan. Sulit? Kauharus telan. Masih sulit? Dorong ia
dengan apapun yang bisa mengurangi rasa pahitnya. Kaupasti bisa. Merubah hati
manusia saja Allah bisa, lalu mengapa kautidak memohon akan hal itu? J
Di sini,
dakon ini pernah menyadarkanku pada suatu hal. “Kebohongan yang melanda pada
akhirnya akan mendekat pada kejujuran. Ketika kebohongan kehabisan cara untuk
berbohong, ia akan kembali kepada kejujuran yang tak pernah ia jujuri”. Kamu
memberiku makna mendalam. Aku memang bukan hal terpenting yang setiap hari
harus kaukuatkan, Kon. Tapi entah, kita di sini hanya berdua, mungkin tak ada yang
tau, kalau di sini meskipun hanya berdua, kita menggenggam mimpi yang tinggi.
Kita duduk berdua melihat burung yang terbang tinggi sedang menertawakan kita. Melihat
hidup yang seakan dengan mudahnya membolak-balikkan fakta sehingga membuat kita
tertawa. Melihat kehidupan menertawakan kita yang mungkin terlihat bodoh.
Whatever. Siapa yang bisa menghalangi mimpi kita, Kon? Akan ku bawa kaumasuk
dan mengikuti hidupku berlayar, mungkin benda bisu lebih bisa mengerti di saat
yang hidup tak lagi menggunakan akal untuk berpikir.
Di saat
hujan belum mereda, masih bersama Dakon—benda bisu pemberi tawa..
0 komentar:
Post a Comment
Tuliskan komentar Anda di bawah ini.